Selasa, 15 Desember 2015

Tersesat Tengah Malam di Pelabuhan Pireaus Yunani

Salah satu pelabuhan yang disinggahi saat perjalanan menuju Santorini
Tujuan utama saya pergi ke Yunani sebenarnya hanya ingin mengunjungi Santorini. Ada beberapa cara menuju pulau yang terkenal dengan bangunan putih di tepian kaldera itu antara lain dengan pesawat atau ferry. Saya jelas memilih ferry karena lebih murah walaupun harga tiketnya tidak terlalu ramah bagi kantong pelajar. Waktu tempuh Athens-Santorini adalah 8 jam dan kapal ferry akan mampir di beberapa pulau sebelum sampai tujuan akhir Santorini.

Nah, karena lagi low season (bulan Januari) maka jumlah penumpang dan frekuensi penyebrangan dikurangi. Pilihan jadwal penyebrangan jadi terbatas. Jadwal berangkat yang sesuai dengan itinerary saya hanya ada pukul 06.00 pagi dan akan tiba di Santorini pukul 14.00 siang. Sedangkan jadwal pulang (hari Minggu) hanya ada pukul 16.00 sore dan akan tiba di Athens jam 00.00 tengah malam!! Saya stress setengah mati karena tidak ada bayangan sama sekali bagaimana kondisi tengah malam di pelabuhan. Selain itu ini pengalaman solo traveling pertama saya. Parahnya lagi saya tidak ada teman yang dikenal di Athens dan kartu ponsel tidak berfungsi!! I am totally alone. Perut saya sedikit mulas membayangkan apa yang harus dilakukan saat tiba di Athens nanti.

Singkat cerita 3 hari saya jalan-jalan di Santorini berlalu dengan cepat. Hari kepulangan pun tiba. Tepat pukul 16.00 sore saya naik ke kapal ferry Blue Star yang siap mengantar saya kembali ke Athens. Perut saya kembali sedikit mulas teringat akan tiba di Athens tengah malam. Saya mencoba tenang, toh masih ada 8 jam yang harus saya lalui diatas kapal yang sedang berlayar membelah laut Aegean ini. Saya memilih duduk di dekat jendela karena ingin mendapat pemandangan sempurna matahari yang sebentar lagi tenggelam. The most beautiful sunset that I’ve ever seen!!

Saya membaca ulang catatan cara menuju bandara Athens International Airport pada agenda. Saya sudah browsing dari jauh-jauh hari dan mencatat lengkap informasi ini. Saya akan naik shuttle bus airport dengan kode X96 yang datang tiap 20 menit dan beroperasi selama 24 jam penuh. Saya sebenarnya ragu apakah shuttle bus airport ini benar-benar beroperasi selama 24 jam mengingat saat ini adalah low season kunjungan turis. Selain itu siapa yang mau ke bandara tengah malam bolong selain mahasiswa kantong kering macam saya demi menghemat biaya akomodasi. Tiga hari sebelumnya saya sempat bertanya pada petugas loket tiket ferry Blue Star tentang bus ini dan wanita penjaga loket itu mengangguk lalu menulis pada secarik post it “BUS X96”. Keraguan saya mulai luntur sejak itu.

Saya tidak tidur sepanjang perjalanan pulang menuju Athens ini. Selain karena cemas saya juga lapar. Bekal 4 buah croissant sudah habis sejak sebelum hari gelap. Saya benar-benar bokek sekarang. Uang cash di dompet tinggal €10 dan akan saya gunakan untuk membayar shuttle bus €5. Saya akan beli makanan saat sampai Athens nanti. Harga makanan di atas kapal ini cukup mahal. Susah menemukan ATM di Santorini dan sekalinya ketemu ATMnya rusak. Selain itu banyak pengeluaran tak terduga seperti harus naik taksi karena bus di Oia tidak kunjung datang. OH MY GOD!! Saya tidak terpikir perjalanan solo pertama saya akan ter-seok-seok seperti ini. Saya menertawai diri sendiri dalam hati.

Cahaya kota Athens kian jelas ketika kapal ferry mulai menepi. “All is well, all is well” saya menyemangati diri sendiri. Semua penumpang menuruni kapal ferry yang telah parkir di dermaga pelabuhan. Saya berusaha berjalan mantap menuju halte bus yang letaknya tak jauh dari dermaga. Kondisi masih ramai penumpang ferry yang baru tiba. Saya duduk menunggu bus menuju airport. Layar penanda kedatangan bus masih menyala pertanda baik masih ada bus yang beroperasi dini hari ini. Bus pertama melintas setelah 15 menit menunggu. Bukan bus X96. Bus kedua melintas setelah 30 menit menunggu. Bukan juga bus X96. Saya mulai ciut nyali. Halte yang tadinya ramai mendadak sepi. Kios toserba dekat halte tiba-tiba tutup. Saya harus memutar otak mencari cara menuju bandara.

Orang asing duduk sendirian pada dini hari di halte bus dekat pelabuhan dengan memangku ransel besar. Saya benar-benar sasaran empuk tindak kejahatan. Yunani sedang dilanda krisis moneter sehingga banyak homeless berkeliaran. Kondisi yang sangat tidak nyaman. Saya akhirnya memutuskan menunggu di coffe shop di seberang jalan yang masih buka padahal tidak punya uang. Saya berniat menghangatkan badan disana karena udara yang sangat berangin diluar walaupun suhu malam itu “hanya” 17 derajat. Saya baru saja hendak membuka pintu ketika si pelayan dari dalam memutar papan bertuliskan “CLOSE”. OH MY LOOORD!! Kesialan bertubi-tubi. Saya benar-benar kehabisan akal harus menunggu dimana. Saya melirik arloji yang menampilkan angka 01.00 dini hari.

Saya melipir di depan coffe shop yang sudah tertutup rolling door sekarang. Kondisi sekitar pelabuhan makin sepi. Hanya ada beberapa sopir yang tidur dalam taksinya serta beberapa homeless.  Layar penanda kedatangan bus tidak menampilkan informasi baru lagi. Pertanda buruk!! Saya menyeberang jalan lagi ketika sebuah taksi lewat dan tiba-tiba berhenti di depan halte. Tidak ada jalan lain lagi selain naik taksi. Saya sudah lelah setelah perjalanan jauh dan hari makin larut. Saya membuka pintu taksi dan menanyakan tarif. “Eighty euro to airport! Eighty euro!” seru sopir taksi lantang. Jantung rasanya mau copot. Nggak liat apa wajah mahasiswa saya yang udah memelas gini masih saja dikasih harga selangit. Jelas saya nggak mau dan nggak mampu bayar. Tarif taksi itu bahkan lebih mahal dari tiket pesawat promo saya.

“Duit cuma tinggal €10 kok ya nekat mau naik taksi” saya memarahi diri sendiri. Saya bergegas menutup pintu, menolak harga gila itu, dan berakting jual mahal. “How much do you want, Sir? Airport is far away from here. There is no bus anymore” rayu si sopir taksi. Saya berjalan saja meninggalkan taksi “mahal” itu dan pura-pura tidak membutuhkannya lagi. Trik menawar yang biasa saya lakukan di Indonesia ternyata berhasil juga disini. “Seventy  euro! Sixty euro! Okay the last offer, fifty euro! Good price, Sir! Come on!” sopir taksi meneriaki saya bertubi-tubi. Saya berbalik badan dan menawar lagi. “How about ten euro?” Kata-kata itu meluncur begitu saja karena otak saya sudah buntu. Sontak saya dimaki sejadi-jadinya oleh si supir taksi. Saya langsung kabur terbirit-birit.

Saya kembali lagi ke depan coffee shop. Ada deretan mesin ATM disana. Kepala saya terasa berat karena lapar luar biasa dan kehabisan tenaga karena kabur dari supir taksi tak tahu diri tadi. Saya mendadak jadi melankolis dan teringat teman-teman yang biasa traveling bareng. Kalau saja saya bersama mereka saat ini pasti kita nekat menunggu bus sampai pagi. Saya berada di jalan yang benar-benar buntu sekarang. Sudah pukul setengah dua pagi. Saya ingin mengambil uang di deretan ATM itu. Saya ingin membeli makan. Saya ingin naik taksi menuju bandara secepat mungkin.

Mengambil uang di ATM merupakan pilihan yang ceroboh. ATM di sini tidak seperti ATM di Indonesia yang memiliki pelindung ruang kaca dengan AC yang nyaman. Mesin ATM di sini tertanam begitu saya pada dinding di jalanan. Kondisi di sini sudah benar-benar sepi sekarang. Bagaimana jika saat mengambil uang ada yang merebut kartu ATM saya dari belakang? Siapa yang akan menolong saya? Kartu ATM itu harapan hidup satu-satunya berisi uang beasiswa untuk hidup satu bulan kedepan. Otak saya mulai memutar skenario-skenario terburuk. Kewaspadaan yang berlebihan. Mungkin terbiasa dengan headline kriminal yang tiap hari muncul di media Indonesia. Saya berpikir dua kali.

Saya benar-benar sudah pasrah sekarang. Saya berjalan limbung melewati deretan mesin ATM. Saya berjalan tak tentu arah menahan rasa lapar dan berat di kepala ketika mata saya tiba-tiba menangkap sign board hotel. Harapan menyala lagi. Pesan kamar di hotel dengan jaminan passport dan esok hari ketika sudah ramai baru ambil uang di ATM untuk membayar. Perfect! Perfect plan! Saya agak lupa nama hotelnya. Hotel Athens kalau tidak salah. Hotel ini tidak seperti hotel. Umurnya sudah tua dan terselip diantara bangunan-bangunan lain yang lebih besar. Oleh karena itu saya berani masuk.

Receptionist hotel ini seorang anak muda yang fasih berbahasa inggris. Dia bilang kalau sudah lewat tengah malam biasanya bus menuju airport menunggu penumpang di suatu tempat dekat hotel ini. Kalau tidak ada penumpang yang datang maka bus tidak akan beroperasi. Saya sudah hilang harapan pada bus itu. Malam ini saya putuskan untuk tidur di hotel tua ini. Tarifnya €20 untuk kamar single dengan bed besar. Harga yang masih masuk akal.

Saya lansung melemparkan diri diatas kasur yang entah kenapa begitu nikmat. Punggung saya sudah kesemutan setelah duduk 8 jam di kapal ferry ditambah memanggul ransel mondar-mandir 2 jam lebih di pelabuhan. Saya mengirim pesan line ke teman traveling saya di Lithuania. “I had a rough day”. Tidak ada balasan. Saya tertidur tanpa berganti pakaian.

Pagi harinya setelah check out dan ambil uang di ATM, saya menunggu bus X96. Tiga puluh menit menunggu bus tak kunjung tiba. Kondisi pelabuhan penuh sesak orang sekarang. Saya kembali ragu-ragu. Saya harus mengejar pesawat ke Istanbul yang akan take off dua jam lagi. Saya bertanya pada orang dikanan-kiri namun tidak ada yang bisa bahasa Inggris. Ujian macam apa lagi ini. Akhirnya saya mengikuti saran si receptionist hotel yang tadi saat check out bilang untuk naik metro saja ke bandara. Akhirnya saya bisa tiba in time di airport menggunakan metro. Setelah lari tergopoh-gopoh menuju check-in counter eeeh pesawatnya delay. Saya tertunduk lesu. L

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...