Makanan rumahan ala Turki |
Saya senang bukan kepalang ketika diajak makan malam
dirumah Rahman*. Bukan hanya artinya penghematan namun juga saya akan mencoba
makanan rumahan otentik ala Turki. Rahman adalah teman sesama exchange student di Lithuania. Dia dan
keluarga nya tinggal di Istanbul. Semua terjadi secara kebetulan saja. Awalnya
saya contact Rahman karena ingin
bertanya tentang transportation system di
Istanbul beberapa hari sebelum keberangkatan. Eeeh malah ditawarin dijemput di airport dan diajak makan malam. Siapa
yang sanggup menolak? Yihaaaa!!
Setelah
landing di bandara Sabiha Gokcen saya harus naik shuttle bus bandara ke pusat kota di
daerah Taksim. Saya akan di jemput Rahman di tempat pemberhentian bus di
Taksim. Rahman datang bersama sepupunya dengan menggunakan mobil sedan warna
hitam. Sore itu lalu lintas Istanbul macet. Banyak mobil tumpah ruah di jalan
raya persis kondisi jalanan di Indonesia. Sepanjang perjalanan kami mengobrol
ringan tentang keluarga. Ayah Rahman pedagang peralatan makan khas Turki
seperti teko, piring, dan gelas teh atau kopi. Ibu Rahman ibu rumah tangga
solihah. Rahman anak bungsu dan semua kakaknya telah menikah. Keluarga
kakak-kakak Rahman berada satu flat namun
beda lantai. Rumah paman dan saudara sepupu Rahman saling berdekatan.
Kebanyakan dari mereka adalah pedagang.
Sebelum
sampai rumah, kami mengantar sepupu Rahman pulang. Ada yang unik dari cara
berpamitan orang Turki. Selain bersalaman tangan, mereka juga saling
menempelkan pelipis kiri dan kanan. Mirip cipika-cipiki orang Indonesia tapi
pakai pelipis. Geli deh liatnya hehe!!
Saya
akhirnya tiba di flat tempat keluarga
besar Rahman tinggal. Ayah dan Ibu Rahman menyambut kedatangan kami. Pasangan
suami istri ini sudah cukup tua. Terlihat dari gurat-gurat di wajah mereka,
saya menerka umur mereka antara 50-60 tahun. Saya mengucap salam saling
mendoakan dalam islam. Mereka mempersilahkan saya masuk dengan bahasa yang
tidak saya mengerti. Hanya salam tadi satu-satunya komunikasi yang berhasil
saya pahami. Selebihnya mereka bicara dalam bahasa Turki. Saya hanya
senyum-senyum saja pura-pura mengerti.
Saya
langsung digiring ke meja makan dekat dapur. Nah, this is the best part of the story! Homemade Turkish Foooood! Makanan
yang disajikan di meja makan banyak namun bentuknya tidak ada yang familiar
sama sekali.
Pertama ada semacam paprika hijau yang diisi nasi berbumbu
seperti tampak pada foto. Saya jadi ragu-ragu mau makannya. Penampakan makanan
ini tidak seperti kebab yang
menggugah selera. Mau tau rasanya? Menurut saya makanan ini rasanya unik,
mungkin karena belum terbiasa ya! Dominan rasa rempah-rempah yang kuat. Nah,
uniknya lagi makannya pake yogurth sebagai
side dish. Yogurth? Iya, yogurth. Ibu Rahman bilang Turkish yogurth baik untuk kesehatan.
Rasa Turkish yogurth ini sama kayak yogurth pada umumnya yang asam namun
teksturnya lebih kental. Kebayang nggak rasanya makan paprika isi nasi pake
yogurth? Hmmm asem asem sedaaap :9 Saya harus menyembunyikan muka aneh waktu
menyantap makanan ini.
Kedua ada semacam nasi putih yang dimakan dengan daging dan
kentang berkuah. Makanan yang kedua ini rasanya lebih manusiawi. Nasinya
rasanya gurih dan tekstur nasinya lepas atau tidak lengket kayak nasi di
Indonesia. Bentuk butiran nasinya panjang dan ramping. Daging dan kentangnya
rasanya normal namun dominan rasa rempah-rempah yang kuat. Penampakan daging
sama kentangnya ada pada foto di atas. Oiaa makanan kedua ini merupakan masakan
dari keluarga kakaknya Rahman yang sengaja diantar khusus untuk saya. Feeling blessed. Baik banget keluarga
ini!!!
Ketiga ada dessert khas
Turki namanya Baklava seperti tampak pada foto. Rasa Baklava ini manis terus
teksturnya sedikit berserat dan di tengahnya ada berbagai macam kacang.
Yuuuums! “Baklava ini homemade jadi
rasanya beda sama yang dijual di toko souvenir” kata Rahman promosi. “Baiklah, ini memang
endes surendes sih!” saya mengambil
satu lagi. Dan satu lagi sebelum beranjak ke ruang tamu.
Ternyata
jamuan makan malam itu belum selesai saudara-saudara. Ibu Rahman menawarkan teh
atau kopi khas Turki. Saya memilih teh walaupun perut sudah buncit maksimal
terisi Baklava. “Minum teh dan kopi merupakan kebiasaan orang Turki dan kami
melakukannya setiap hari” terang Rahman. Kami berpindah ke ruang tamu untuk
minum teh sambil nonton TV. Kami minum teh sambil ditemani camilan berupa
beragam jenis kacang.
Gelas kopi Turki yang kecil mungil |
Ukuran cangkir teh dan kopi di Turki sangat kecil
dibanding ukuran cangkir normal yang biasa kita gunakan di Indonesia. Saya saja
dapat menghabiskan segelas teh dalam dua/tiga kali teguk. Ibu Rahman sangat
antusias menambahkan lagi dan lagi teh ke dalam gelas saya. Saya berusaha
menghentikannya tapi apa daya, beliau tidak mengerti bahasa Inggris. Saya coba
bahasa isyarat tapi tangan saya malah di halau. Saya menatap Rahman memelas dan
berharap dia jadi translater. Saya
hampir jadi manusia gelonggongan. Rahman malah tertawa makin kencang.
Pulangnya
saya masih dibekali dengan sekotak cokelat berbentuk mawar. Orang tua Rahman
sangat ramah tersenyum terus saat saya mengucapkan terima kasih berulang kali.
Di mobil saat perjalanan pulang Rahman bilang satu hal. Orang tuanya sangat
kagum dengan orang Indonesia karena saat ibadah haji dulu banyak berjumpa
dengan jemaah yang masih berusia muda. Mereka salut karena pada usia muda sudah
sanggup menjalankan ibadah haji. Oleh karena itu mereka sangat antusias saat
saya akan berkunjung ke rumah mereka. Rahman mengantar saya sampai hostel di
daerah dekat Blue Mosque. Lega
rasanya malam ini saya dapat tidur dengan perut kenyang!
Regards,
@bgsyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar