Salah satu pelabuhan yang disinggahi saat perjalanan menuju Santorini |
Tujuan utama saya pergi ke Yunani sebenarnya hanya ingin
mengunjungi Santorini. Ada beberapa cara menuju pulau yang terkenal dengan
bangunan putih di tepian kaldera itu antara lain dengan pesawat atau ferry.
Saya jelas memilih ferry karena lebih murah walaupun harga tiketnya tidak
terlalu ramah bagi kantong pelajar. Waktu tempuh Athens-Santorini adalah 8 jam
dan kapal ferry akan mampir di beberapa pulau sebelum sampai tujuan akhir
Santorini.
Nah,
karena lagi low season (bulan
Januari) maka jumlah penumpang dan frekuensi penyebrangan dikurangi. Pilihan
jadwal penyebrangan jadi terbatas. Jadwal berangkat yang sesuai dengan itinerary saya hanya ada pukul 06.00
pagi dan akan tiba di Santorini pukul 14.00 siang. Sedangkan jadwal pulang
(hari Minggu) hanya ada pukul 16.00 sore dan akan tiba di Athens jam 00.00
tengah malam!! Saya stress setengah
mati karena tidak ada bayangan sama sekali bagaimana kondisi tengah malam di
pelabuhan. Selain itu ini pengalaman solo
traveling pertama saya. Parahnya lagi saya tidak ada teman yang dikenal di
Athens dan kartu ponsel tidak berfungsi!! I
am totally alone. Perut saya sedikit mulas membayangkan apa yang harus
dilakukan saat tiba di Athens nanti.
Singkat
cerita 3 hari saya jalan-jalan di Santorini berlalu dengan cepat. Hari
kepulangan pun tiba. Tepat pukul 16.00 sore saya naik ke kapal ferry Blue Star yang siap mengantar saya
kembali ke Athens. Perut saya kembali sedikit mulas teringat akan tiba di
Athens tengah malam. Saya mencoba tenang, toh
masih ada 8 jam yang harus saya lalui diatas kapal yang sedang berlayar
membelah laut Aegean ini. Saya memilih duduk di dekat jendela karena ingin
mendapat pemandangan sempurna matahari yang sebentar lagi tenggelam. The most beautiful sunset that I’ve ever
seen!!
Saya
membaca ulang catatan cara menuju bandara Athens
International Airport pada agenda. Saya sudah browsing dari jauh-jauh hari dan mencatat lengkap informasi ini.
Saya akan naik shuttle bus airport dengan
kode X96 yang datang tiap 20 menit dan beroperasi selama 24 jam penuh. Saya
sebenarnya ragu apakah shuttle bus
airport ini benar-benar beroperasi selama 24 jam mengingat saat ini adalah low season kunjungan turis. Selain itu
siapa yang mau ke bandara tengah malam bolong selain mahasiswa kantong kering
macam saya demi menghemat biaya akomodasi. Tiga hari sebelumnya saya sempat
bertanya pada petugas loket tiket ferry Blue Star tentang bus ini dan wanita
penjaga loket itu mengangguk lalu menulis pada secarik post it “BUS X96”. Keraguan saya mulai luntur sejak itu.
Saya
tidak tidur sepanjang perjalanan pulang menuju Athens ini. Selain karena cemas saya
juga lapar. Bekal 4 buah croissant sudah
habis sejak sebelum hari gelap. Saya benar-benar bokek sekarang. Uang cash di
dompet tinggal €10 dan akan saya gunakan untuk membayar shuttle bus €5. Saya akan beli makanan saat sampai Athens nanti.
Harga makanan di atas kapal ini cukup mahal. Susah menemukan ATM di Santorini
dan sekalinya ketemu ATMnya rusak. Selain itu banyak pengeluaran tak terduga
seperti harus naik taksi karena bus di Oia tidak kunjung datang. OH MY GOD!!
Saya tidak terpikir perjalanan solo pertama saya akan ter-seok-seok seperti ini. Saya menertawai diri sendiri dalam hati.
Cahaya
kota Athens kian jelas ketika kapal ferry mulai menepi. “All is well, all is well” saya menyemangati diri sendiri. Semua
penumpang menuruni kapal ferry yang telah parkir di dermaga pelabuhan. Saya
berusaha berjalan mantap menuju halte bus yang letaknya tak jauh dari dermaga.
Kondisi masih ramai penumpang ferry yang baru tiba. Saya duduk menunggu bus menuju
airport. Layar penanda kedatangan bus masih menyala pertanda baik masih ada bus
yang beroperasi dini hari ini. Bus pertama melintas setelah 15 menit menunggu.
Bukan bus X96. Bus kedua melintas setelah 30 menit menunggu. Bukan juga bus
X96. Saya mulai ciut nyali. Halte yang tadinya ramai mendadak sepi. Kios
toserba dekat halte tiba-tiba tutup. Saya harus memutar otak mencari cara
menuju bandara.
Orang
asing duduk sendirian pada dini hari di halte bus dekat pelabuhan dengan
memangku ransel besar. Saya benar-benar sasaran empuk tindak kejahatan. Yunani
sedang dilanda krisis moneter sehingga banyak homeless berkeliaran. Kondisi yang sangat tidak nyaman. Saya
akhirnya memutuskan menunggu di coffe
shop di seberang jalan yang masih buka padahal tidak punya uang. Saya
berniat menghangatkan badan disana karena udara yang sangat berangin diluar
walaupun suhu malam itu “hanya” 17 derajat. Saya baru saja hendak membuka pintu
ketika si pelayan dari dalam memutar papan bertuliskan “CLOSE”. OH MY LOOORD!! Kesialan bertubi-tubi.
Saya benar-benar kehabisan akal harus menunggu dimana. Saya melirik arloji yang
menampilkan angka 01.00 dini hari.
Saya
melipir di depan coffe shop yang
sudah tertutup rolling door sekarang.
Kondisi sekitar pelabuhan makin sepi. Hanya ada beberapa sopir yang tidur dalam
taksinya serta beberapa homeless. Layar penanda kedatangan bus tidak menampilkan
informasi baru lagi. Pertanda buruk!! Saya menyeberang jalan lagi ketika sebuah
taksi lewat dan tiba-tiba berhenti di depan halte. Tidak ada jalan lain lagi
selain naik taksi. Saya sudah lelah setelah perjalanan jauh dan hari makin
larut. Saya membuka pintu taksi dan menanyakan tarif. “Eighty euro to airport! Eighty euro!” seru sopir taksi lantang.
Jantung rasanya mau copot. Nggak liat apa wajah mahasiswa saya yang udah
memelas gini masih saja dikasih harga selangit. Jelas saya nggak mau dan nggak
mampu bayar. Tarif taksi itu bahkan lebih mahal dari tiket pesawat promo saya.
“Duit
cuma tinggal €10 kok ya nekat mau naik taksi” saya memarahi diri sendiri. Saya
bergegas menutup pintu, menolak harga gila itu, dan berakting jual mahal. “How much do you want, Sir? Airport is far
away from here. There is no bus anymore” rayu si sopir taksi. Saya berjalan
saja meninggalkan taksi “mahal” itu dan pura-pura tidak membutuhkannya lagi.
Trik menawar yang biasa saya lakukan di Indonesia ternyata berhasil juga
disini. “Seventy euro!
Sixty euro! Okay the last offer, fifty euro! Good price, Sir! Come on!” sopir
taksi meneriaki saya bertubi-tubi. Saya berbalik badan dan menawar lagi. “How about ten euro?” Kata-kata itu
meluncur begitu saja karena otak saya sudah buntu. Sontak saya dimaki
sejadi-jadinya oleh si supir taksi. Saya langsung kabur terbirit-birit.
Saya
kembali lagi ke depan coffee shop. Ada
deretan mesin ATM disana. Kepala saya terasa berat karena lapar luar biasa dan
kehabisan tenaga karena kabur dari supir taksi tak tahu diri tadi. Saya
mendadak jadi melankolis dan teringat
teman-teman yang biasa traveling bareng.
Kalau saja saya bersama mereka saat ini pasti kita nekat menunggu bus sampai
pagi. Saya berada di jalan yang benar-benar buntu sekarang. Sudah pukul
setengah dua pagi. Saya ingin mengambil uang di deretan ATM itu. Saya ingin
membeli makan. Saya ingin naik taksi menuju bandara secepat mungkin.
Mengambil
uang di ATM merupakan pilihan yang ceroboh. ATM di sini tidak seperti ATM di
Indonesia yang memiliki pelindung ruang kaca dengan AC yang nyaman. Mesin ATM
di sini tertanam begitu saya pada dinding di jalanan. Kondisi di sini sudah
benar-benar sepi sekarang. Bagaimana jika saat mengambil uang ada yang merebut
kartu ATM saya dari belakang? Siapa yang akan menolong saya? Kartu ATM itu
harapan hidup satu-satunya berisi uang beasiswa untuk hidup satu bulan kedepan.
Otak saya mulai memutar skenario-skenario terburuk. Kewaspadaan yang
berlebihan. Mungkin terbiasa dengan headline
kriminal yang tiap hari muncul di media Indonesia. Saya berpikir dua kali.
Saya
benar-benar sudah pasrah sekarang. Saya berjalan limbung melewati deretan mesin
ATM. Saya berjalan tak tentu arah menahan rasa lapar dan berat di kepala ketika
mata saya tiba-tiba menangkap sign board hotel.
Harapan menyala lagi. Pesan kamar di hotel dengan jaminan passport dan esok
hari ketika sudah ramai baru ambil uang di ATM untuk membayar. Perfect! Perfect plan! Saya agak lupa
nama hotelnya. Hotel Athens kalau tidak salah. Hotel ini tidak seperti hotel.
Umurnya sudah tua dan terselip diantara bangunan-bangunan lain yang lebih
besar. Oleh karena itu saya berani masuk.
Receptionist hotel ini seorang anak muda yang fasih berbahasa inggris.
Dia bilang kalau sudah lewat tengah malam biasanya bus menuju airport menunggu penumpang di suatu
tempat dekat hotel ini. Kalau tidak ada penumpang yang datang maka bus tidak
akan beroperasi. Saya sudah hilang harapan pada bus itu. Malam ini saya
putuskan untuk tidur di hotel tua ini. Tarifnya €20 untuk kamar single dengan bed besar. Harga yang masih masuk akal.
Saya
lansung melemparkan diri diatas kasur yang entah kenapa begitu nikmat. Punggung
saya sudah kesemutan setelah duduk 8 jam di kapal ferry ditambah memanggul
ransel mondar-mandir 2 jam lebih di pelabuhan. Saya mengirim pesan line ke teman traveling saya di Lithuania. “I
had a rough day”. Tidak ada balasan. Saya tertidur tanpa berganti pakaian.
Pagi
harinya setelah check out dan ambil
uang di ATM, saya menunggu bus X96. Tiga puluh menit menunggu bus tak kunjung
tiba. Kondisi pelabuhan penuh sesak orang sekarang. Saya kembali ragu-ragu.
Saya harus mengejar pesawat ke Istanbul yang akan take off dua jam lagi. Saya bertanya pada orang dikanan-kiri namun
tidak ada yang bisa bahasa Inggris. Ujian macam apa lagi ini. Akhirnya saya
mengikuti saran si receptionist hotel
yang tadi saat check out bilang untuk
naik metro saja ke bandara. Akhirnya saya bisa tiba in time di airport menggunakan metro. Setelah lari tergopoh-gopoh
menuju check-in counter eeeh
pesawatnya delay. Saya tertunduk lesu. L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar